Sabtu, 27 Februari 2010

Suku Kei, Menyembah Matahari

BENTUK negara Indonesia adalah negara kesatuan. Semboyan negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu juga. Maksudnya adalah, kita bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku, kesenian, bahasa, adat, dan agama, tetapi kita merupakan satu bangsa, dengan satu kebudayaan nasional, dan dengan satu bahasa nasional yaitu bangsa, budaya, dan bahasa Indonesia.

Negara kita sangat kaya akan adat dan budaya dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Di setiap provinsi terdapat berbagai macam suku. Salah satunya adalah Provinsi Maluku, dengan luas 77.870,56 km2, dan jumlah penduduk 1.851.087 jiwa. Ibu Kota Provinsi Maluku adalah Ambon. Di Maluku, selain suku Alifuru, Furu Aru, ataupun Togitil, ada juga suku Kei.

Sobat-sobat..., menurut sejarahnya, orang-orang pertama dari suku Kei hidup di gua-gua atau di bawah pohon di dalam hutan rimba. Mereka memuja kekuatan gaib atau yang biasa mereka sebut dengan muhuduan. Mereka menyembah matahari, karena matahari mereka anggap sebagai sumber energi dan cahaya bagi kehidupan di dunia. Biasanya para lelaki dari suku ini mengenakan cawat berwarna merah sebagai simbol dari keberanian.

Setelah itu, suku Kei mulai mengenal raja. Ada sekitar 20 raja yang memimpin suku Kei, yang datang dari Tanimbar, Babar, dan Bali. Masing-masing raja mempunyai kelompoknya sendiri. Pada umumnya raja-raja ini diterima tanpa adanya perlawanan dari rakyatnya, karena dianggap sang raja membawa kebudayaan atau gagasan yang lebih maju dari mereka. Namun ketika sang raja mulai serakah, dan ingin memperluas wilayah kekuasaannya, maka sering terjadi perang antarsuku. Sampai kemudian, pada abad ke-19, datang para misionaris dan peyebar agama.

Sekarang para raja sudah tidak ada. Yang ada hanya kepala desa. Tugasnya adalah menegakkan hukum, menjunjung adat, dan menjadi penengah bila terjadi perselisihan. Kepala desa juga berperan sebagai penghubung antara rakyat setempat dan pemerintah.

Suku Kei tinggal di Kepulauan Kei, yang terdiri atas tiga pulau seluas 1.800 km2, terletak di tengah laut Kepulauan Maluku. Tiga pulau itu adalah Pulau Duliah, Pulau Nahuroa yang membentuk Kei Kecil, serta Pulau Kei Besar.

Kei Besar adalah pulau terindah di bentangan kepulauan ini. Rimba-rimba alami dan gunung-gunung berselimut hutan berpadu menjadi pemandangan yang menawan. Elat adalah Ibu Kota Kei Besar, terletak di tengah pelabuhan alam yang besar. Tak mengherankan kalau bangsa Belanda pernah memilihnya sebagai pangkalan mereka. Beberapa gedung peninggalan Belanda masih bisa kita temukan di sana. Juga meriam-meriam kuno Belanda atau Portugis.

Dahulu, untuk bisa mencapai perkampungan Kei, kita harus melalui tangga kayu, karena daerah sekitarnya berpagar tembok batu dan karang. Pemukiman itu dijaga oleh pintu kokoh untuk menahan serbuan pengacau dari kampung lain. Rumah adat suku Kei juga masih dapat kita jumpai. Rumah adat suku Kei dibangun di atas panggung cagak, atapnya yang tinggi memayungi sampai beranda depan, membuatnya terasa sejuk berangin. Kebanyakan rumah-rumah adat suku Kei dihiasi dengan ukiran-ukian halus. Para perajin dari zaman dulu mengukir berbagai macam makhluk hidup, seperti biawak, kura-kura, dan lain sebagainya.

Mata pencaharian penduduk suku Kei masih tradisional. Mereka berdagang kopra, teripang, mutiara, agar-agar, dan sirip ikan hiu.

Ikan adalah makanan utama penduduk suku Kei. Menu utamanya disebut embal, yaitu roti yang terbuat dari singkong yang kemudian dikeringkan dan dibuat menjadi kue-kue tipis. Biasanya roti ini dimakan dengan ikan asap. Wah, lezat juga ya! Maknyoos ! (A. Ezrian Afrizal, kelas IV SD Turangga, Jln. Turangga No. 27 Bandung)***

Penulis:
Back

2 komentar: