Minggu, 28 Februari 2010

Menilik jejak Islam di Eropa (1) – Aragon.




Adalah Aragon, sebuah propinsi paling utara Spanyol yang berbatasan langsung dengan Perancis. Di sejumlah tempat di propinsi ini ternyata masih tercecer kenangan sejarah Islam. Beruntung saya yang kebetulan mendapat kesempatan tinggal di Pau, sebuah kota di Perancis Selatan, atas izin-Nya, berhasil merekam keberadaan kota-kota tersebut.

Torla, Alquezar dan Ainsa. Ketiga kota ini masuk kedalam wilayah propinsi Aragon. Walaupun baru hanya tiga kota ini yang berhasil saya kunjungi namun jejak Islam sudah tampak di wajah ketiganya. Selama abad 13, 14 dan 15 bangunan dan menara khas gaya Mudejar memang tetap dipertahankan di hampir seluruh pelosok Spanyol.

Tujuan pertama kami adalah kota kecil bernama Torla. Kota ini berada di salah satu puncak gunung pegunungan Pirenia Spanyol yang berjarak hanya sekitar beberapa puluh km dari perbatasan Perancis. Lokasinya berada di kawasan Taman Nasional yang dilindungi Negara dan merupakan warisan dunia yang dilindungi.

Menurut saya pribadi, pegunungan yang memiliki lebih dari 30 puncak gunung ini bermuka dua. Bagian yang menghadap Perancis kelihatan lebih hijau, subur dan teduh sementara sisi yang menghadap Spanyol terlihat kering, gersang dan panas. Batu-batu cadas besar yang menghiasi pegunungan ini terlihat gagah dan angker, mengingatkan suasana perjalanan dari Mekah ke Madinah ketika pergi haji atau umrah. Ketika itu temperatur mencapai 38 derajat Celcius!! Saya membayangkan tentu pasukan Muslim Arab yang dahulu berjihad menaklukkan negri ini demi tersebarnya Islam amat bersyukur mendapati kesamaan suasana dan cuaca daerah ini dengan negri asal mereka yang jaraknya ratusan km itu. Allahuakbar…
tora - Sepanyol

Tora , Aragon - Spanyol

Kota Torla berada di sisi kiri jalan menuju Taman Nasional. Puncak gunungnya yang berwarna putih kapur menjadi latar belakang pemandangan kota tua ini. Sementara menara gereja dengan salibnya yang dipasang di ujungnya terlihat mendominasi kota tersebut. Namun demikian warna Islam tetap terlihat melalui bentuk dan tata cara pengaturan kotanya. Bahkan menara gereja terlihat bahwa dulunya adalah menara dimana muazin mengumandangkan azan. Saya membayangkan suatu ketika dulu, ratusan tahun yang lalu mustinya penduduk kota ini, di jam-jam seperti ini sedang berduyun-duyun berjalan menuju masjid yang sudah berubaha menjadi gereja tersebut demi memenuhi panggilan azan untuk shalat, mengagungkan nama-Nya…Subhanallah..

Sore harinya kami bermaksud langsung bertolak ke Alquezar. Namun karena perjalanan dari Torla ke Alquezar adalah jalan pegunungan yang jaraknya lumayan jauh maka kami memutuskan menginap di salah satu kota yang kami lalui. Kota tersebut adalah Ainsa.

Mulanya saya tidak begitu peduli dengan nama tersebut. Yang ada dalam benak saya hanya ” Aneh juga nama kota ini” . Namun ketika suami saya berkomentar ” Jangan-jangan dulunya nama kota ini An-Nisa ya..”.An-Nisa dalam bahasa Arab berarti perempuan. Ya..siapa tahu….” Cari informasi ah..”, jawab saya ketika itu.

Namun karena malam telah tiba, kami tidak sempat memperhatikan apalagi mencari informasi seputar kota Ainsa ini. Kami langsung mencari hotel, makan dan istirahat, tidur..Walau begitu selintas saya sempat melihat adanya semacam bangunan di atas bukit..mungkin benteng, yang diberi lampu penerangan cukup mencolok.

Belakangan saya baru tahu, ternyata tempat tersebut adalah landmark Ainsa, namanya La Plaza Mayor. Tempat ini diabadikan diberbagai macam suvenirnya, seperti asbak, gelas, hiasan dinding dsb. La Plaza Mayor adalah bekas benteng kuno yang dibangun kembali oleh raja Philip II pada tahun 1515-1516 untuk melindungi kota dari serangan musuh. Tak ayal lagi, benteng ini dulunya pasti milik Islam. Merekalah yang membangunnya ratusan tahun sebelum pembangunannya kembali.

Dari Ainsa, kami menuju Alquezar. Perjalanan sungguh menegangkan. Kendaraan berjalan menyusuri jalanan kecil yang meliuk-liuk tajam diatas bukit dengan jurang-jurangnya yang sangat dalam dan berbatu besar nan tajam. Beberapa kali saya terpaksa memejamkan mata sambil terus berdoa saking takutnya. Kurang lebih 2 jam kemudian akhirnya kamipun tiba di tujuan.
Alquezar,Spanyol

Alquezar, Aragon - Spanyol

Alquezar, sebuah nama berbau Arab yang dalam bahasa Spanyol berarti benteng, sama dengan bahasa aslinya, adalah sebuah istana tua berbenteng yang berdiri di atas bukit di pegunungan ‘ Sierra Guarra’, Aragon. Istana ini dibangun oleh Jalaf ibn Rasid pada awal abad ke 9 dan sekaligus berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi ibu kota Barbastro yang terletak beberapa km dari Alquezar dari ancaman kerajaan Kristen Sobrarbe. Istana ini jatuh pada tahun 1069 M dibawah raja Sancho I yang kemudian menjadikannya sebagai tempat pertahanannya.

Jalanan di dalam kota Alquezar Jalanan di dalam kota Alquezar

Bangunan dan rumah-rumah tuanya yang terbuat dari batu bata merah, jalan-jalannya yang kecil meliuk dan menanjak serta pintu kota dan benteng lengkap dengan gemboknya. Semua ini adalah bangunan khas gaya Mudejar yang sengaja dipertahankan dan menjadi kebanggaan penduduk setempat hingga kini. Ini jelas terlihat karena mereka memang menuliskannya di papan yang dipasang di depan pintu masuk kota untuk menarik perhatian pengunjungnya. Namun demikian saat ini tak ada satupun peninggalan Islam yang tertinggal di dalam kota benteng ini.

Ingatan sayapun melayang jauh ke belakang, ke beberapa ratus tahun yang telah silam.

Pada tahun 711 M, Jabal ibn Tariq, seorang komandan bani Umayah tiba di semenanjung Iberia ( Spanyol-Portugal) melalui selat Gibraltar. ( Nama ini berasal dari kata Jabal Tarik dengan pengucapan lidah barat). Setahun kemudian daratan yang semula berada dibawah kekuasaan kerajaan Kristen Visigothic ini jatuh ke tangan dinasti Umayah. Ketika itu sebagian besar daratan Eropa masih berada didalam kegelapan. Mereka masih hidup terbelakang dan belum mengenal peradaban.

Dari semenanjung inilah sedikit demi sedikit pasukan Umayah berhasil memperluas kekuasaan hingga mencapai sebagian besar wilayah Pay Basque di pegunungan Pirenia-Perancis hingga 200 tahun lamanya. Mereka bahkan hampir menguasai pedalaman Perancis bila saja pada pertempuran di Poitier pada tahun 733 M tidak berhasil dikalahkan pasukan Perancis dibawah raja Frank Charles Martel.

Sementara itu pada tahun 755 M dinasti Umayah di Syam jatuh ke tangan dinasti Abbasiyah yang beraliran Syiah. Abdul Rahman ad-Dakhil, penguasa terakhir dinasti Umayyah berhasil lolos dari kejaran Abbasiyah dan menyelamatkan diri ke Spanyol. Di negri ini ia berhasil mempertahankan satu-satunya kekuasaan dinasti Umayah yang tertinggal dan mendirikan kerajaan Andalusia yang lepas dari kekuasaan pusat Abasiyah.

Dibawah kekuasaan Abdul Rahman an-Nashir, yang berkuasa antara tahun 912-961, Andalusia mencapai kejayaan pada segala bidang kehidupan. Kerajaan ini secara mutlak menguasai seluruh semenanjung Iberia selama 275 tahun, yaitu hingga tahun 1030 M. Sayang setelah itu ia terpecah menjadi lebih dari 20 ‘ muluk thawaif’ atau kerajaan-kerajaan kecil yang lemah dan menyebar diseluruh Iberia. Yang terkenal diantaranya adalah kerajaan Seville ( 1056-1147) dan Granada ( 1237-1492) sebelum akhirnya benar-benar lenyap setelah ditaklukkan kerajaan Kristen dibawah raja Castilla, Ferdinand II. Kerajaan-kerajaan kecil Islam ini jatuh disebabkan tidak adanya persatuan di dalam tubuh mereka.

“ Kamu akan melihat kepada orang-orang Mukmin itu dalam hal kasih-sayang diantara mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh itu merasa sakit maka akan menjalarlah kesakitan itu pada anggota tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak dapat tidur dan merasakan demam”. (HR Bukhari).

Jadi pihak Kristen sebenarnya hanya memanfaatkan kelemahan tersebut. Orang Spanyol menamakan peristiwa kemenangan mereka itu ‘Reconquista’ yang berarti Penaklukan Kembali. Namun berbeda dengan ketika pasukan Islam berhasil menaklukkan Spanyol dan sekitarnya. Ketika itu penguasa Muslim memberikan 2 pilihan kepada penduduk yang dikalahkannya ; memeluk Islam atau membayar jiziyah ( semacam zakat yang khusus dikenakan kepada non Muslim/kaum dzimmi). Tetapi ketika penguasa Kristen mengalahkan Islam, sebagian besar penduduknya dibantai. Antisemitisme ( budaya membenci orang Yahudi), pengusiran dan pembantaian Muslim adalah hal yang biasa terjadi pada era tersebut.

Padahal selama 700 tahun kekhalifahan Islam berkuasa, kekhalifahan ini berhasil memperkenalkan tidak saja sains, seni, budaya dan ekonomi namun juga toleransi beragama yang sangat tinggi ke dalam kehidupan negri di ujung selatan Eropa tersebut. Pemeluk ketiga agama samawi yang mendominasi negri tersebut, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi hidup harmonis dan saling menghargai.

Demikian pula sains dan ilmu pengetahuan yang pada masa keemasan kerajaan Andalusia telah mencapai kejayaan mengalami kemunduran. Keduanya bahkan dianggap menentang dan menjatuhkan wibawa gereja di mata umum. Gereja dan para pemimpin agama ( Kristen ) terus berupaya memaksa rakyat agar menjadikan mereka sebagai pimpinan tertinggi yang harus ditaati secara mutlak. Pada zaman ini pula Perang Salib mulai diperkenalkan. Gereja berhasil memprovokasi timbulnya kebencian dan rasa permusuhan yang dalam terhadap Islam.

Akhirnya budaya tahayulpun berkembang pesat menggantikan ilmu pengetahuan dan sains. Kehidupan negri Kristen ini kembali mundur ke belakang. Sementara itu di belahan dunia lain yang tetap dikuasai Islam, yaitu Mamaluk dan kemudian kekhalifahan Otoman yang berpusat di Istambul sedang mengalami kebesaran dan kejayaannya. Itu sebabnya banyak orang Eropa berdatangan ke kota-kota Islam untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan. Pada era ini pula muncul para orientalis, yaitu orang-orang Kristen dan Yahudi yang datang ke Yerusalem dan kota-kota besar Islam lainnya untuk belajar tentang Islam dan tradisi Arab namun dengan tujuan ingin menjatuhkan dan mengalahkan Islam.

Perlu menjadi catatan, kejatuhan terakhir kerajaan Islam Granada pada 1492 M sebenarnya lebih disebabkan oleh raja terakhirnya, Abu Abdullah Muhammad binAli, yang kurang memperhatikan salah satu ayat penting dalam Al-Quran. Suatu ketika ia menggabungkan pasukannya kedalam pasukan raja Ferdinand II untuk berperang melawan musuh. Namun apa lacur setelah gabungan pasukan ini menang, Ferdinand berbalik menyerang dan merebut kekuasaan sang raja. Seluruh kekayaannya dirampas hingga ia terpaksa pergi meninggalkan istananya menuju Afrika dan hidup terlunta-lunta dalam kemiskinan.

Dibawah raja Ferdinand II dan istrinya ratu Isabelle inilah kaum Muslimin dan Yahudi mengalami pengusiran secara besar-besaran.

« Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” .(QS.An-Nisa(4):138-139).

Di kemudian hari dunia menyebut penduduk asli Andalusia yang memeluk Islam pada era ketika Muslim berkuasa dengan sebutan Moor / Muladi / Muwallad. Sementara mereka yang tetap ingin memeluk Kristen, agama lama mereka disebut dengan panggilan Mozarab. Kemudian pada era ketika Kristen berkuasa, orang-orang Islam yang tidak mau memeluk Kristen disebut sebagai kaum Mudejar. Kaum ini dikenal sebagai kaum terpelajar. Sayang mereka hanya dapat bertahan beberapa tahun di negri ini sebelum akhirnya diusir dan terpaksa harus meninggalkan tanah Iberia untuk selama-lamanya.

Namun demikian, atas izin-Nya, peninggalan kejayaannya hingga detik ini tidak berhasil begitu saja dihapuskan. Andalusia dengan istana ‘Alhambra’-nya yang megah di Granada, Cordoba dengan ‘ Mezquita’-nya dan Sevilla dengan berbagai bangunannya adalah sebagian contohnya.

Pandangan saya kembali ke tebing-tebing tinggi yang mengitari Alquezar. Saat ini disamping karena sejarahnya, Alquezar menarik banyak pengunjung karena geografisnya. Istana ini dikelilingi oleh tebing-tebing kapur tinggi yang sangat digandrungi pencinta alam untuk berolah raga ‘canyoning’, seperti memanjat canyon, terjun, renang serta menjelajahi sungai Ebro yang mengalir diantara jurang-jurang tingginya yang sempit. Pemandangan didalam celah tebing tersebut memang sungguh menakjubkan.

Wallahu’alam bishawab.
Semoga bermanfaat.
Pau-France, 21 Agustus 2009.

Vien AM.

Referensi :

“ L’Islam en Europe” oleh Herscher.
“ Sejarah Islam” oleh Ahmad al-Usairy

http://en.wikipedia.org/wiki/Umayyad_conquest_of_Hispania

http://www.xmission.com/~dderhak/index/moors.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Mudejar

http://es.wikipedia.org/wiki/Torla Torla

Posted in Catatan Perjalanan | Tagged Abdul Rahman ad-Dakhil, Abdul Rahman an-Nashir, Abu Abdullah Muhammad binAli, Ahmad al-Usairy, Ainsa, Alhambra, Alquezar, Andalusia, Antisemitisme, Aragon, bani Umayah, Barbastro, Castilla, Cordoba, dzimmi, Ebro, Ferdinand II, Frank Charles Martel, Granada, Iberia, Jabal ibn Tariq, Jalaf ibn Rasid, jiziyah, La Plaza Mayor, Mezquita, Moor, Mozarab, Mudejar, Muladi, muluk thawaif, Muwallad., raja Sancho I, Reconquista, selat Gibraltar, Seville, Sierra Guarra, Sobrarbe, surat An-Nisa ayat 138-139,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar